Assalamu'alaikum....

Anak kedua saya, Hanzo, agak berbeda dari kebanyakan anak-anak seumuran lainnya. Tidak hanya namanya yang ke Jepang-jepangan, tapi juga masalah tumbuh kembangnya, Saya sebagai ibu sebenarnya sudah menyadari itu sejak umur 1 tahun, saat anak itu tiba-tiba tidak lagi mengeluarkan suara, lebih suka duduk ketimbang eksplorasi sekitar saat anak seusianya sudah jalan kesana kemari. Lemes, lesu, males.....

Ya, selain belum bisa bicara dia juga belum bisa berjalan walau usianya sudah 13 bulan. Tanda-tanda belajar jalan pun belum ada.

Saya sudah terpikir untuk membawanya ke klinik tumbuh kembang (tumbang), tapi saya malu.  Apalagi ayahnya tidak merasa ada yang aneh dengan anaknya. Katanya "Hanzo lucu gitu, mukanya bayi banget masih, imut".

Justru karena mukanya masih terlihat bayi banget itu saya jadi berpikir jangan-jangan tumbuh kembangnya terlambat. Otaknya masih bayi sedangkan badannya sudah menuju balita.

Akhirnya setelah maju mundur saya memberanikan diri untuk membawanya ke klinik tumbang pada usia 14 bulan. Untungnya tidak jauh dari rumah, hanya saja antrinya panjang. Ketika masuk ke dalam ruangan perasaan saya sudah tidak karuan. Saya sering mendengar kalau dokter anak kebanyakan suka ngomong yang bikin kuping panas dan hati mencelos. Saya antara siap dan tidak.

Setelah wawancara sedikit dengan saya, observasi pun berjalan. Dokter mengetes pendengerannya dengan membunyikan bel. Hanzo menoleh tapi responnya lambat. Kemudian Hanzo dipanggil dengan panggilan biasa di rumah "Dedek! Dek!", dan dia menoleh sebentar, sekilas, kurang dari 1 detik. Ok, fix pedengarannya baik tapi responnya sangat kurang. Seakan saya tau apa yang dokter tulis di catatannya.

Selanjutnya dokter menanyakan lagi, kegiatan saya dan Hanzo di rumah apa saja. Agak gagap saya jawab, karena belum dijawab saja saya sudah yakin bakal jadi pesakitan malam ini karena saya merasa menjadi penyebab Hanzo terlambat tumbangnya.

"Ya, main main dok di rumah, kadang baca buku, kadang nonton juga"

"Nonton? Sering?"

"Kalo saya beberes rumah sama masak, Dok"

"Ini anaknya kurang terstimulasi ya, makanya lambat jalan dan lamnat bicara. Ibunya kerja?"

Saya jawab "di rumah saja" dan yaah....bisa ditebak kemudian apa kata dokter anak itu.

Beliau juga merujuk saya untuk membawa Hanzo ke psikolog anak.

Apa? Psikolog? Anak saya separah itukah jadi harus dibawa ke psikolog?? Dalam benak saya dirujuk ke psikolog = anak darurat bermasalah.

Jadi, maksud dokter anak saya autis???

Saya tidak berani membawa ke psikolog. Saya takut semakin berat vonisnya. Pulang ke rumah hati saya hancur, menangis semalaman. Kunjungan ke klinik tumbang malam itu dan perkataan dokter anak itu membuat saya semakin menyalahkan diri saya sendiri yang tidak becus.

Tidak puas menyalahkan diri saya, saya juga menyalahkan suami saya dalam diam. Gara-gara dia kerja 7 hari sepekan, 30 hari sebulan, tidak ada waktu libur, tidak ada waktu untuk keluarga, saya menghandle; pekerjaan domestik (nyuci, jemur, masak, cuci piring, bersih-bersih dalam rumah, dan halaman), mengurus anak hingga belanja ke pasar semuanya sendiri, di sini di kota perantauan. Tidak ada keluarga, tidak ada tetangga bahkan yang bisa membantu saya.

Ketika pun saya minta tolong jagakan anak ketika saya beberes plus masak sepagian (dan dia free saat itu karena dinas siang / malam), yang ada suami malah menyalakan TV atau membuka youtube sambil menemani di sebelahnya tanpa ada sepatah kata keluar.

Saya kesal, marah. Bukan seperti itu maksudnya "menjaga anak". Tapi, bacakan buku, bermain puzzle, atau bernyanyi-nyanyi bersama, itu yang saya inginkan. Beberapa kali saya tegur untuk matikan TV tapi ditepis. Menurutnya TV tidak akan mempengaruhi tumbang anak karena dia, dan adik-adiknya tumbuh dengan TV di rumah dan mereka normal semua.

Sungguh saya gemas sekali dan jujur masalah ini sempat membuat buruk komunikasi kami. Saya ibunya dan saya punya intuisi yang kuat untuk anak saya. Kenapa suami tidak memahami itu??!

Fix, itulah hubungan paling buruk antara saya dan suami yang pernah saya ingat.

Sebulan setelah konsultasi di rumah kami menonaktifkan TV. Alhamdulillah tidak ada penolakan dari kaka (makasih ya, Nak). Saya juga berhenti sementara dari dunia blogging dan keluar dari grup WhatsApp untuk mengurangi interaksi saya dengan dunia luar. Tidak lupa Facebook dan Instagram saya hapus juga aplikasinya. Benar-benar fokus untuk Hanzo.

Masalah Utama Penyebab Speech Delay Hanzo


Dari kunjungan ke klinik tersebut saya mendapat PR untuk membentuk kontak matanya. Kontak matanya yang hanya 0.0 sekian detik itu membuat otaknya tidak bisa mencerna informasi. Konsentrasi juga masih kurang. Membuat dia tidak ada waktu untuk memahami apa yang dia dengar.

Lalu, bagaimana saya mendapatkan kontak matanya?

Tidak lain dengan intens mengajaknya bicara (walau dia tidak paham, belum) dengan intonasi suara beragam, naik turun dan kalau perlu ada penekanan di beberapa bagian.

Selama terapi mandiri dengan saya selama sebulan di rumah kemajuannya lumayan bagus. Senang sekali rasanya dia mulai ada ketertarikan interaksi walalu hanya merespon kata-kata saya dengan respon dan tangan dan senyum. Tetap belum ada kata yang keluar tapi saya sudah senang.

Tapi, saya jadi keteteran dengan pekerjaan rumah karena waktu saya jadi banyak ke Hanzo. Saya juga mulai kelelahan menghandle semua di saat suami tidak sedikitpun melonggarkan waktu dinasnya, tetap kerja 7 hari sepekan sekalipun tanggal merah. Warbiasah.

Apa? Pakai jasa IRT? Mohon maaf, saya masih trauma yang sebesar-besarnya sejak IRT yang tiada hari tanpa drama kumara kemudian tiba-tiba hilang begitu saja dengan uang pinjaman 700.000 dan cincin nikah.

Saya tetap menomor 10-kan jasa IRT sekalipun kondisi saya serumit ini.

Akhirnya saya menjadi kendor dan membolehkan anak-anak nonton TV sewaktu saya beberes rumah. Setelah 3 bulan vakum saya juga mulai ngeblog lagi dan.....ternyata ide-ide menulis saya lebih bagus setelah hiatus. Skill menulis juga terasa ada peningkatan. Saya pun kembali menikmatinya. Apalagi ketika saya memutuskan untuk mengunjungi psikolog 4 bulan kemudian. Saya siap karena saya percaya diri bahwa Hanzo ada perkembangan. Dan ternyata benar dugaan saya. Psikolog bilang Hanzo tidak ada tanda-tanda keterlambatan mental (seperti yang saya takutkan), tidak juga autis karena ciri-cirinya hampir tidak ada kecuali speech delayed, dia bisa berinteraksi dengan kakanya, bermain petak umpet (di ruang observasi) dan ketika dipanggil sudah mau merespon lebih cepat walau kontak mata belum sebagus anak lain.